Demokrasi Perempuan di Desa Masih Terancam

Spread the love

Jakarta, MEB – Praktik penerapan demokratisasi dalam Undang-undang Desa (UU Desa) di berbagai daerah masih menjadi polemik. Dede Kusumawarti bercerita kondisi demokrasi sebelah mata terjadi pada perempuan yang masih belum dilibatkan secara aktif dalam forum musyawarah membangun Desa di Sukabumi di Jakarta, Kamis, 29 Maret 2018.
Dede salah satu penggiat Sauyunan Sukabumi bercerita proses demokrasi di Desa. UU Desa yang telah berdiri sejak tiga tahun belum sepenuhnya memihak kepada masyarakat kecil. Penerapan program UU Desa masih belum mewakili seluruh lapisan masyarakat. Kelompok masyarakat Desa yang menjadi sasran demokrasi tidak merata ialah kelompok perempuan.
Ia menambahkan dalam forum-forum desa seperti Musyawarah Dusun (Musdus), Musyawarah Desa (Musdes), dan Musyawarah Rembug Desa (Musrembagdesa) masih belum banyak melibatkan masyarakat kecil khusunya perempuan. “Dari tahun 2014-2015 kami tidak pernah diundang sama sekali, kemudian pada tahun 2016 kami bersikeras untuk ikut musyawarah sebagai kelompok perempuan. Akhirnya kami diundang, tapi suara kami belum didengar sama sekali,” ungkap Dede.
Ia nuturkan berdirinya kelompok Sauyunan merupakan bentuk inisitaif pera perempuan yang memiliki kesamaan tujuan. Program yang dibentuk fokus pada olahan pangan untuk meningkatkan produksi, sebagai upaya meningkatkan ekonomi.
“Sebagai perempuan, kami ingin menjadi masyarakat yang sejahtera, mandiri, dan tidak termjinalisasi. Namun, sampai hari ini pemerintah desa belum mendukung kegiatan kami, padahal pemerintah kabupaten telah mengapresiasi kegiatan kami, kami seperti loncat,” tambah Dede.
Selain usaha pengolahan pangan, anggota Sauyunan juga melakukan peningkatkan kemampuan kondisi ekonomi kreakatif dengan mengumpulkan penggiat ekonomi kreatif. Produk yang telah dibuat kemudian dipasarkan di gerai tersebut. “Beberapa minggu lalu, saya meminta Kepala Desa (Kades) agar Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) menggabungkan hasil pengerajin di dalamnya,” tambahnya.
Dengan adanya berbagai kegiatan yang telah dilakuakn kelompok Sauyunan kondisi ekonomi masyarakat selalu mengalami perkembangan. Jika dulu masyarakat menjadi buruh tani dalam sehari mendapatkan penghasilan 25 ribu, kini masyarakat yang mampu memproduksi mampu meningkatkan penghasilannya mencapai 75 ribu perhari.
Dalam kesempatan yang sama Madiyah Basuni menyayangkan kondisi itu, ia mengatakan pembangunan Desa dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan seharus dilakukan dengan bersama tapa meiliaht jenis kelamin atau golongan agana.
“Pemerintah tidak seharusnya melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Seharusnya pemerintah memberikan insentif bagi perempuan di ranah publik untuk melakukan percepatan pembangunan Desa,” ungkap Masrdiah.
Ia menambahkan, salah satu gerakan yang dapat menungjang masyarakat ialah dengan menlakukan pengorganisasian masyrakat. Perempuan dan kelompok rentan lainnya harus membentuk organisasi yang diinisiasi oleh masyarakat sebgai upaya melindungi mendampingi kelompok rentan. “ Organisasi dapat memastikan manfaat pembangunan di semua sektor bisa diakses laki dan perempuan. Memperbaiki kualitas pelayan publik yang lebih adil bagi laki dan perempuan,” tambahnya
Cerita Dede tentang perjuangan kelompok Sauyunan yang berjuang menguatarakan haknya agar didengar pemerintah Desa diungkapkan dalam diskusi publik yang diadakan oleh Bina Desa di Jakarta Pusat dengan tema “Mendengar Suara dari Desa, Potret Praktik Demokrasi Desa”.  (Irfan)

Tinggalkan Balasan