Polemik Demokrasi Desa dan Masyarakat Adat

Spread the love

Jakarta,  MEB – Praktik penerapan demokratisasi dalam Undang-undang Desa (UU Desa) di berbagai daerah masih menjadi polemik. Lemahnya pemerintah Desa dalam mengakoodir perempuan dan golongan lemah masih menjadi probelm sendiri selain rendahnya pasrtisipasi masyarakat pada forum musyawah. Perbedaan adat dan budaya juga menjadi warna Demokrasi di beberapa daerah.
Peran perempuan dalam mengisi demokrasi masih dianggap sebelah mata terjadi pada perempuan yang masih belum dilibatkan secara aktif dalam forum musyawarah membangun.
Dede salah satu penggiat Sauyunan Sukabumi bercerita proses demokrasi di Desa. UU Desa yang telah berdiri sejak tiga tahun belum sepenuhnya memihak kepada masyarakat kecil. Penerapan program UU Desa masih belum mewakili seluruh lapisan masyarakat. Kelompok masyarakat Desa yang menjadi sasran demokrasi tidak merata ialah kelompok perempuan.
Ia menambahkan dalam forum-forum desa seperti Musyawarah Dusun (Musdus), Musyawarah Desa (Musdes), dan Musyawarah Rembug Desa (Musrembagdesa) masih belum banyak melibatkan masyarakat kecil khusunya perempuan. “Dari tahun 2014-2015 kami tidak pernah diundang sama sekali, kemudian pada tahun 2016 kami bersikeras untuk ikut musyawarah sebagai kelompok perempuan. Akhirnya kami diundang, tapi suara kami belum didengar sama sekali,” ungkap Dede.
Ia nuturkan berdirinya kelompok Sauyunan merupakan bentuk inisitaif pera perempuan yang memiliki kesamaan tujuan. Program yang dibentuk fokus pada olahan pangan untuk meningkatkan produksi, sebagai upaya meningkatkan ekonomi.
“Sebagai perempuan, kami ingin menjadi masyarakat yang sejahtera, mandiri, dan tidak termjinalisasi. Namun, sampai hari ini pemerintah desa belum mendukung kegiatan kami, padahal pemerintah kabupaten telah mengapresiasi kegiatan kami, kami seperti loncat,” tambah Dede.
Selain usaha pengolahan pangan, anggota Sauyunan juga melakukan peningkatkan kemampuan kondisi ekonomi kreakatif dengan mengumpulkan penggiat ekonomi kreatif. Produk yang telah dibuat kemudian dipasarkan di gerai tersebut. “Beberapa minggu lalu, saya meminta Kepala Desa (Kades) agar Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) menggabungkan hasil pengerajin di dalamnya,” tambahnya.
Dengan adanya berbagai kegiatan yang telah dilakuakn kelompok Sauyunan kondisi ekonomi masyarakat selalu mengalami perkembangan. Jika dulu masyarakat menjadi buruh tani dalam sehari mendapatkan penghasilan 25 ribu, kini masyarakat yang mampu memproduksi mampu meningkatkan penghasilannya mencapai 75 ribu perhari.
Masyarakat Pasif
Masyarakat masih pasif dalam membangun Desa terjadi di Desa Muyosari. Desa yang baru didirikan pada 19 November 2012, pemerakaran dari Desa Gunung Rejo, Povinsi Lampung.
Saifudin mengatakan dalam pembangunan Desa gagasan secara terbuka telah diserahkan pada masyakarat dari tingkat dusun. Masyarakat diminta untuk berperan aktif dalam membagun Desa, namun tingkat masyarakat masih enggan untuk bermusyawarah.
Sebelum adanya dana Desa, Kades datang ke dusun hanya bicara masalah pembangunan dan tidak pernah terealisasi. Masyarakat memandang kedatangan Kades ditengah masyarakat membicarakan masalah hanya sebagai ucapan tanpa gerakan.
“Kini kami datangi satu per satu di dusun, kami buka diskusi dengan masyarakat. Kami menggali mengutarakan masalah dan meminta bapak ibu-ibu, juga anak remaja inginkan. Untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, pemerintah desa membuat sebuah laporan secara online yang dapat dilihat di internet. Semua informasi terkait desa sampai dana desa dapat diakses melalui FB,” ungkap Saifudin.
Pemerintah meminta dan menampung semua gagasan dari masyarakat untuk membangun Desa. Namun, untuk menyetujui sebuah gagasan yang diberikan masyarakat harus melakukan Rancangan Anggaran Biaya (RAB).
“Kami tidak akan mencairkan anggaran kalau kelompok tidak ada RAB. Karena kades sebagai Pertanggungjawaban Anggaran (PA). kemudian BPD akan menyetujui anggaran yang diturunkan jika itu untuk kebaikan bersama dan memnuhi syarat admintistratif,” tambah Sifudin.
Ia menabahkan pemerintah melalui partisipasi masyarakat kini telah mampu menggali dan memanfaatkna sumberdaya alam yang tersedia sebagai usaha miiik Desa.
”Air sebagai hasil dari sumber kekeyaan alam kami pilih sebagai usaha Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang kami beri nama Tirta Jaya.
Demokrasi Masyarakat Adat
Berbeda dengan penerapan demokrasi pada Desa-desa lainnya, proses demokrasi masyarakat adat. Aji pendamping masyarakat adat Kasepuluh Banten mengatakan masyarakat yang menganut adat melakukan seren taun kepada induknya (musyawarah kepada tetua adat). Semuanya dilakukan menggunakan dua sarana rumah, satu untuk laki-laki dan satu untuk perempuan. Dalam satu tempat semua masyarakat akan menjalin ikatan menjadi satu ikatan penting dalam kehidupan sosoial.
Ia menuturkan, masyarakat menggunakan dua konsep Desa masa cara, Negara mawa tata yang berarti Desa memiliki aturan dan melakukan aturan namun tunduk pada pemerintah. Semua kegiatan ritual dan berbagainya itu dituntun oleh kepala desa yang sudah ada.
“Jika mengutip aturan perda no 1 tahun 2015 tentang Desa. Konteks pentingnya masyarakat Kesepuhan, bagaimana masyarakat bersuara dan melakukan perencanaan walaupun masayarakat adat tetap patuh dan tunduk. Ruang demokrasi masyarakat mempunya ikatan sendir semua diatur oleh masyarakat. Semua telah diatur dan masyarakat harus patuh, tunduk pada ketua adatnya,” tutur Aji.
Ia menambahkan praktek demokrasi Desa di wilayah Kasepuhan menyesuaikan adat yang telah lama dibangun oleh masyarakat Desa Kasepuhan. Ada wilayah yang harus dikerjakan oleh desa dan juga wilayah yang menjadi urusan dan diselesaikan oleh masyarakat adat.
Masyarakat Kasepuhan dan Baduy mempunyai aturan yang berbeda. Jika masyarkaat di Baduy semua aturan adat mulai aturan wilayah personal samapai sosial budaya diatur oleh tetua. “Di Baduy ikatan antar masyarakat sangat erat, jadi masyrakat itu terdata dan mempunyai ikatan personal yang kuat. Di Baduy itu urusan adat sampai ke wilayah personal. Dalam pemilihan kepala Desa di Badui berdasarakan mandat tetua Adat bukan pemilihan. Surat Keputusan (SK) setiap enam tahun diserahkan oleh Muun (kepala adat),” ungkap Aji.
Berbeda dengan masyarakat Baduy, ikatan dalam masyarakat adat Kasepuluh hanya pada wilayah adat. Ia mengibaraktkan jika salah satu orang adat ada yang melanggar aturan, usaha pertaniannya akan mendapatkan panen jelek. “jadi hubungannya tidak sampai ke wilayah personal,” tutup Aji.
Cerita Dede tentang perjuangan kelompok Sauyunan yang berjuang menguatarakan haknya agar didengar pemerintah Desa dan kondisi pasifnya masyrakat dalam membangun desa oleh Saifudin dan ungkapan Aji melihat demokrasi di masyarakat diungkapkan dalam diskusi publik yang diadakan oleh Bina Desa di Jakarta Pusat dengan tema “Mendengar Suara dari Desa, Potret Praktik Demokrasi Desa”.

Tinggalkan Balasan