
Jakarta, M14 – Aliansi Keadilan Untuk Korban Perkosaan yang merupakan gabungan sejumlah Organisasi dan LSM, LBH seperti ICJR, Rumah Cemara, LBH Apik Jakarta, LBH Masyarakat, PKBI, SGRC, Kita Sama,
Pasukan Jarik, Rutgers WPF Indonesia, Save All Women and Girls (SAWG), Konsorsium PERMAMPU, IPAS yang fokus bergerak dan aktif dalam berbagai kegiatan perlindungan, pendampingan, pembinaan para wanita dan anak-anak korban kekerasan seksual, pada Ahad, (05/08) menggelar media briefing dengan Thema “Jangan Hukum Korban Perkosaan” di bilangan Cikini Jakarta Pusat.
Dalam pemaparannya, Veni Siregar yang hadir mewakili LBH Apik mengungkapkan sejumlah temuan dilapangan terkait proses hukum yang dijalani oleh para korban yang menurutnya tidak jarang, para korban justru akhirnya menjadi revictim karena mengalami pelanggaran serius dalam proses pemeriksaan perkara.
“Dalam proses WA, kesalahannya bukan langsung ada di hakim tapi dari proses penyidikan, jadi rekomendasi dari Apik menyatakan bahwa dari proses penyidikan, Polisi tidak menggali bahwa WA adalah korban, dia menempatkan WA on sight sebagai pelaku aborsi nah dalam proses hukum yang kami lihat, WA” sama seperti “BL” ada di di tempatkan di Sub koordinasi daripada pelaku dan aparat penegak hukum tidak menempatkan BL dalam kondisi tidak berdaya dan itu sangat tidak diperhatikan”.ungkap Veni
Lebih lanjut, Veni menilai, dalam kasus yang dialami WA dan BL adalah sama dimana terdapat beberapa unsur yang merugikan mereka.
“WA Menurut kami sama seperti BL di mana terdapat tiga unsur yang merugikan :
Pertama ; untuk kasus kehamilan tidak diinginkan khususnya kasus perkosaan seperti undang-undang 36 tahun 2009 pasal 76 yang menggariskan batas usia kehamilan ini menjadi harus dijawab oleh Kementerian Kesehatan bagaimana untuk kasus-kasus yang tidak terpapar informasi kesehatan seksual ketika melakukan aborsi di atas usia yang dilakukan apakah BL dan ibunya yang membantu juga harus mendapatkan hukuman penjara dan dilepaskan status hukumnya yang sebagai pelaku.
Kedua di Perma 3 tahun 2017, satu sisi capaian satu sisi juga harus dijawab oleh LPSK Bagaimanakah LPSK yang memiliki kantor hanya di Jakarta itu bisa diakses oleh kawan-kawan atau yang pengada layanan di daerah yang mendampingi kasus kekerasan seksual seperti kasus wa yang baru didampingi pada sekitar persidangan keberapa yang ternyata pihak LPSK juga sulit untuk mengakses ke sana sebelum ada pelaporan. Yang dialami BL dan WA juga kami melihat sama persis di aparat penegak hukum di struktur hukumnya, di BAP tidak memperhatikan kondisi korban, APH melakukan revictimisasi korban masih suruh cari alat bukti sendiri”. Ungkap Veni Siregar
Siregar juga mengungkap bahwa dalam Kasus BL, pendamping LBH Apik Jakarta itu sampai ke Pandeglang untuk cari bahwa benar ada dokter yang mengatakan bahwa BL itu sakit perut dan dokter itu akan dihadirkan atas upaya pencarian dari LBH Apik. Sehingga menurut Veni, di dalam proses hukum ini baik sebagai pelaku dan korban, saksi dan pendamping yang mencari alat bukti sendiri.
Sementara itu, Dr. Livia Iskandar, M.Sc.,Psi. seorang Psikolog yang juga Pembina dan Pendiri Yayasan Pulih, Pemulihan Trauma dan Penguatan Psicho Social mengatakan bahwa anak anak korban perkosaan pastinya mengalami pergolakan batin yang membuatnya bimbang antara melaporkan atau mendiamkan peristiwa tersebut tanpa menyadari resiko kehamilan yang kemungkinan dialaminya
“Segera setelah peristiwa yang traumatik itu atau yang demikian, bisa mengubah cara pandang kita terhadap dunia, si Anak ini tentu saja yang masuk 15 tahun yang dia pasti merasa takut, merasa bingung mau bicara seperti apa apalagi ini Kakaknya sendiri gitu kita bisa bayangkan dinamika konflik batin di dalam diri anak ini gimana kalau saya cerita ke Ibu nanti gimana ya gitu, sementara dia juga tidak memperhatikan bahwa dampak dari kekerasan seksual perkosaan ini adalah bahwa dia bisa hamil”. ungkap Livia
Psikolog ini juga melihat kemungkinan lain bahwa aparat penegak hukum di lembaga peradilan, dalam hal ini penuntut umum maupun majelis hakim, masih belum menggali dan mempertimbangkan aspek psikologis yang dialami oleh wanita dan anak-anak korban pemerkosaan.
“Jadi kita bayangkan segala macam apa yang dialami oleh si anak itu oleh karena itu saya pada saat melihat bahwa ternyata baik penuntut umum maupun majelis hakim dalam perkara sama sekali tidak menggali aspek psikologis anak korban perkosaan, yang saya tambahkan, yang dilakukan oleh anggota keluarga sendiri yang kemudian didakwa melakukan aborsi saya pikir itu memang perlu untuk diperbaiki dalam arti kata perlu ada pemeriksaan psikologi untuk Kemudian dilihat keadaannya keadaan psikologi si Anak ini yang mengalami kekerasan berulang, belum lagi dia harus bergumul dengan dirinya sendiri tadi yang saya katakan konflik batin, kamu tinggal bersama pelakunya gitu Kakaknya sendiri kemudian perubahan-perubahan yang terjadi kepada dalam tubuhnya pada saat dia kemudian hamil gitu, saya kurang jelas Apakah kemudian selama itu apakah tetap bersekolah, kita gak tau informasinya”. pungkas Dr.Livia