Jakarta, Med14 – Praktek korupsi merupakan musuh bersama seluruh bangsa dan masih menjadi PR bagi banyak pemimpin dan Kepala Negara, termasuk Presiden Republik Indonesia hingga saat ini.
Pemerintah, dalam melaksanakan perang total melawan korupsi, tentu banyak menghadapi tantangan baik eskternal maupun internal yang tentunya dapat berimbas pada marwah dan wibawa hukum pemerintah. Hal ini dapat terlihat dalam ulasan singkat, serta contoh kasus yang paparkan oleh Paulus Henuk, seorang advokat sekaligus praktisi hukum Indonesia dalam tulisan berjudul “PERANG MELAWAN KORUPSI PENGANGKATAN KEMBALI PNS TIPIKOR DAN WIBAWA HUKUM PEMERINTAH” berikut ini
Perang Melawan Korupsi
Dalam Program Kerja “NAWACITA” ala Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, sering didengungkan “Revolusi Mental”. Inti dari revolusi mental adalah Pemerintah menginginkan adanya perubahan paradigma /pola pikir para penyelenggara negara dan birokrasi dari pusat sampai daerah, berubah dari mental yang suka dilayani menjadi mental yang suka melayani. Berubah dari mental yang koruptif menjadi mental yang unkoruptif.
Program baik Pemerintah pusat ini sejalan dengan cita-cita perjuangan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa pada tahun 1998, yang kemudian berujung pada runtuhnya Orde Baru yang dianggap pemerintahannya penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Peristiwa reformasi ini lantas menghasilkan berbagai produk regulasi yang intinya melakukan perang total terhadap KKN.
Upaya menciptakan pemerintahan yang bersih berwibawa dan bebas KKN,selanjutnya disambut baik oleh MPR pada waktu itu dengan menelorkan TAP MPR RI No.X1 tahun 1998 tanggal 13 Nopember 1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. Setahun kemudian DPR dan Pemerintah juga menghasilkan UU No.28 tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999 tentangPenyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. Terbentuknya berbagai Institusi Penegakan hukum baru lengkap dengan uu yang mendasari kelahirannya seperti KPK, Pengadilan TIPIKOR, MK, Komisi Yudisial dan institusi lainnya merupakan respon positif negara terhadap tuntutan rakyat agar negara ini dikelola oleh pemerintah tanpa korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kiprah dan sepak terjang institusi penegak hukum, baik KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian dalam melakukan perang melawan korupsi terus dilancarkan dan banyak sekali koruptor yang berhasil dijebloskan ke penjara mulai dari Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, DPR/DPRD, Jenderal TNI/Polri, Kepala Dinas, Pengusaha, Bankir, karyawan dan seterusnya. Uang dan barang yang berhasil diselamatkanpun tidak sedikit. Namun disaat yang bersamaan perlawanan balik koruptor dengan berbagai cara dan berbagai dalilpun terus mereka lakukan. Perlawanan secara fisik (melawan hukum), maupun perlawanan melalui pengadilan (dibolehkan) karena semua warga negara bersamaan kedudukan di depan Hukum dilindungi konstitusi. Kasus Novel Baswedan diduga keras merupakan dugaan perlawanan dari koruptor.
Pengangkatan Kembali PNS Tipikor Yang Telah Dipecat.
Pada tanggal 29 April 2019, Bupati Kabupaten Rote Ndao telah mengeluarkan Beberapa Keputusan untuk memberhentikan para PNS Tipikor di Kabupaten Rote Ndao dengan dasar pertimbangan yang disebut dengan baik, tentang urutan-urutan peraturan perundang-undangan yang mengatur perihal Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) atas PNS Tipikor, mulai UU No.8 tahun 1974, UU No.43 tahun 1999 dan UU.No.5 Tahun 2014 dan PP No.32 tahun 1979, PP No.19 tahun 2013 dan PP No.11 tahun 2017. Bahkan pada konsideran lainnya, disebutkan bahwa Tindak Pidana Yang Dilakukan sebelumnya sampai dengan berlakunya UU No.5 tahun 2014 dan PP No.11 tahun 2017, belum dijatuhi Sanksi Pemberhentian. Namun keanehan muncul setelah Lebih kurang satu bulan PNS Tipikor diangkat kembali melalui SK Pencabutan terhadap SK Pemberhentian. Dalilnya bahwa Substansi SK Pemberhentian Melanggar Pasal 28i UUD 1945 dan Pasal 5 UU No.30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Bahwa alasan ini disampaikan oleh para PNS Tipikor melalui mekanisme keberatan dan kemudian diamini oleh Bupati sehingga langsung melakukan pencabutan sekaligus Pengangkatan Kembali PNS Tipikor dengan jabatan masing-masing seperti semula, dan diduga sebelum melakukan konsultasi dan koordinasi dengan pemerintah pusat.
Pertanyaan mulai bermunculan, diskursus tentang topik inipun mulai hangat dibicarakan. Siapakah sesungguhnya yang berhak menyatakan sebuah UU melanggar UUD 1945? Siapakah yang berwenang menyatakan sebuah PP melanggar UU?. Sudah merupakan konsensus bersama bangsa kita, bahwa untuk menyatakan sebuah UU melanggar/bertentangan dengan UUD 1945 maka haruslah melalui proses Judicial Review di Mahkamah Konstitusi atau melalui Legislatif Review, demikian juga untuk menyatakan sebuah PP bertentangan dengan UU maka mesti melalui proses Judicial Review di Mahkama Agung atau melalui Eksekutif Review, bukan dengan sebuah Keputusan Bupati atau institusi apalagi person tertentu dengan melakukan penafsiran sendiri dan berkesimpulan sendiri bahwa pasal 87 ayat 4 huruf b dan pasal 250 huruf b PP No.11 tahun 2017 dan menyatakan bertentangan dengan pasal 28i UUD 1945 dan pasal 5 UU No.30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Jika yang dipersoalkan tentang Azas Rektroaktif / Berlaku Surut dan Azas Legalitas yang dilanggar, maka bukankah telah ada UU No.43 tahun 1999 dan PP No.19 tahun 2013 sebelumnya?atau jika ada vonis pengadilan terhadap PNS Tipikor sebelum berlakunya UU No.43 tahun 1999 dan PP No.19 tahun 2013 maka bukankah sebelumnya juga telah berlaku UU No.8 tahun 1974 dan PP No.32 Tahun 1979. Artinya kalau Pemberhentian ASN Tipikor baru dilakukan saat ini karena kelalian / kesengajaan PPK maka apakah pns tipikor tidak boleh diberhentikan? Pemerintah pusat harus segera melakukan penegasan atas hal-hal ini.
Bisa Meruntuhkan Wibawa Hukum dan Citra Pemerintah Pusat.
Pemerintah pusat melalui Kemendagri, Kemen-PAN dan RB serta BKN telah menerbitkan Keputusan Bersama No.182/6597/SJ, No.15 tahun 2018 dan No.153/KEP/2018 Tentang : Penegakkan Hukum Terhadap Pegawai Negeri Sipil Yang Telah Dijatuhi Hukuman Berdasarkan Putusan Pengadilan Yang Berkekuatan Hukum Tetap Karena Melakukan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan Atau Tindak Pidana Yang Ada Hubungannya Dengan Jabatan.
Selain itu Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia No.B/50/M.SM.00.00.2019 tanggal 29 Februari 2019 Perihal : Petunjuk Pelaksanan Penjatuhan PTDH oleh PPK Terhadap PNS Yang Telah Dijatuhi Hukuman Berdasarkan Putusan Pengadilan Yang Berkekuatan Hukum Tetap, dan Surat Edaran Mentri Dalam Negeri No. 880/3712/SJ tanggal 10 Mei 2019 Tentang Penegasan Pelaksanan Penjatuhan Sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Terhadap Pegawai Negeri Sipil Yang Telah Dijatuhi Hukuman Berdasarkan Putusan Pengadilan Yang Berkekuatan Hukum Tetap Karena Melakukan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan atau Tindak Pidana Yang ada Hubungannya Dengan Jabatan.
Pertanyaannya kemudian, apakah pakar-pakar hukum yang dimiliki pemerintah pusat sekurang-kurangnya yang berada pada ketiga institusi di atas yang telah mengeluarkan berbagai dokumen tersebut, tidak paham mengenai Azas Retroaktif dan Azas Legalitas sebagaimana yang dijadikan dalil pemda rote Ndao? Sekali lagi disinilah wibawa hukum pemerintah pusat mulai dipertanyakan, maka demi tegaknyahukum dan rasa keadilan serta dugaan munculnya ekses negatif dari pengaktifan kembali pns tipikor di Rote Ndao yang dapat berdampak destruktif khususnya pada wibawa hukum dan wibawa pemerintah pusat maka sikap kesatria harus dilakukan segera dengan mengaktifkan kembali pns tipikor jika pemerintah pusat menyetujui tindakan bupati Rote Ndao. Namun sebaliknya, jika pemerintah memiliki pandangan hukum berbeda maka tindakan tegas mesti dilakukan untuk menyalamatlkan upaya pemberantasan korupsi dan menegakkan wibawa hukum dan citra pemerintah pusat.
Pemerintah mulai dari pusat sampai daerah adalah satu kesatuan pemerintah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mestinya memiliki pemahaman yang sama, tujuan, visi dan misi yang sama dalam memberantas korupsi. Tidak dibenarkan melakukan tindakan yang dianggap diskriminatif terhadap warga negara termasuk pns tipikor.
Jika Benar, bahwa Pengangkatan kembali pns tipikor di Rote Ndao telah ditembuskan kepada berbagai institusi dipusat sebagaimana disampaikan pemda Rote Ndao saat menjawab pertanyaan fraksi Hanura dan Fraksi Demokrat di Kabupaten Rote Ndao, maka perintah pusat harus segera bertindak dan bersikap agar polemik ini tdk semakin merusak citra pemerintah pusat.
Pembenahan Koordinasi dan Pembinaan
Pengangkatan kembali pns tipikor di Kabupaten Rote Ndao, mesti menjadi alarm atau warning bagi pemerintah pusat untuk berbenah. Pembenahan pertama yang mesti dilakukan adalah bagaimana melakukan perbaikan koordinasi dan konsolidasi antara pusat dengan daerah untuk menyamakan presepsi dan pemahaman termasuk bagaimana pusat melakukan pembinaan dan pengawasan kepada daerah dan sebaliknya daerah mesti melakukan konsultasi dan koordinasi manakala ada hal-hal yang membutuhkan konfirmasi atau persetujuan pusat.
Koordinasi dan konsultasi harus dilakukan untuk memastikan : Pencantuman Konsideran atau peraturan di dalam SK Pemberhentian harus lengkap, Utuh dan narasinya harus logis, Proses pengajuan dan atau tahapan pengajuan pemberhenttian harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Memastikan Format SK PTDH harus sempurna dan memenuhi seluruh kaedah hukum.
Untuk menjaga wibawa pusat maka mestinya daerah berkonsultasi ke pusat atas keberatan dan atau penolakan yang dilakukan oleh pns tipikor termasuk jika adanya gugatan di pengadilan Tata Usaha Negara. Jangan kesankan ada negara dalam negara karena kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rakyat butuh kepastian, rakyat butuh harmoni antara pusat dan daerah. (Paulus Henuk/red)